Seo Services

Moderating Effect of Pancasila: Dari dan Untuk?


Guru

_"Karenanya Pancasila jangan ditarik ‘ke kanan’ dan ‘ke kiri’, tetapi diletakkan di posisi tengah agar tetap menjadi rujukan bersama kehidupan berbangsa dan bernegara.”_


Oleh: M. Ikhsan Tualeka, CEO/Founder IndoEast Network. 




Setiap 1 Oktober diperingati sebagai Hari Kesaktian Pancasila, menjadi momentum penting bagi setiap generasi, untuk memahami dan memaknai sehingga dapat mengimplementasikan Pancasila dengan lebih baik dan sungguh-sungguh. Bukan basa-basi atau sekadar seremonial.



Mendiskusikan Pancasila, tentu ada berbagai pandangan dan pemikiran, tapi dalam catatan pendek ini saya hendak membahasnya dalam dua konteks utama. Pertama, adalah Pancasila From atau Pancasila Dari dan Kedua, Pancasila For atau Pancasila Untuk.


*Pancasila Dari*


Dalam konteks ini Pancasila jelas adalah fondasi kebangsaan yang lahir dan dihasilkan para pendiri bangsa. Pancasila yang perumusannya mengalami proses dinamis sejak Pidato Soekarno 1 Juni 1945, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, dan rumusan final 18 Agustus 1945 merupakan konsensus nasional dari berbagai golongan yang berlatar belakang majemuk menjadi Bhinneka Tunggal Ika.



Oleh Proklamator RI Soekarno, Pancasila diposisikan sebagai “philosophische grondslag” atau “Weltanschauung”. Yaitu sebagai fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan ‘Baileo’ Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi.




Pancasila adalah ‘kesepakatan agung’ komponen bangsa, hasil dari jiwa kenegarawanan para pendiri negara. Satu konsensus moderat atau ‘tengah’ karena ada kebesaran jiwa untuk bersedia melepas “tujuh kata” yang lebih dikenal sebagai Piagam Jakarta, kemudian dikonversi menjadi sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa”.


Itu artinya, Pancasila yang dalam dinamika perumusannya sedikit berada di ‘kanan’, kemudian melalui satu konsensus, menjadi beringsut ke tengah. Dengan berada di tengah, Pancasila menjadi tumpuan yang kuat atau dapat turut menjaga keseimbangan kehidupan berbangsa bernegara yang multikultur ini.



Oleh karena itu pula, sampai kapan pun, Pancasila tidak bisa ditarik ke kiri dan kanan. Jika ditarik atau ingin diposisikan ke kiri atau ke kanan, selain a history, juga sejatinya telah menggeser atau bahkan merusak pondasi keIndonesiaan yang kokoh itu.



Padahal bila meminjam pendapat Raymond Gettel, satu Negara Kesatuan itu sejatinya dapat terwujud dan berjalan baik bila terdiri dari: satu daratan atau kontinental; relatif tidak luas wilayahnya; relatif tidak banyak penduduknya; dan relatif tidak majemuk masyarakatnya. Semua syarat yang sejatinya berseberangan dengan realitas NKRI, namun pada kenyataannya, dengan Pancasila mampu memoderasi ‘anomali’ yang ada, sehingga bangsa ini tetap eksis hingga saat ini.




Pancasila sudah teruji efektif sebagai pemersatu, meskipun menurut sejarawan Furnivall (2009) bangsa majemuk pada dasarnya nonkomplementer laksana “air dan minyak”. Tetapi bangsa Indonesia yang majemuk itu dapat bersatu karena ada nilai yang mempersatukan yaitu Pancasila (Nasikun, 1984).



Pancasila sebagai titik temu dari kemajemukan memang dapat terjadi atas jiwa kenegarawanan para tokoh bangsa melalui proses musyawarah-mufakat. Ketika Soekarno menawarkan lima sila dari Pancasila dalam sidang BPUPKI tergambar kuat pemikiran moderat atau sebagai jalan tengah.



Karenanya Pancasila jangan ditarik ‘ke kanan’ dan ‘ke kiri’, tetapi diletakkan di posisi tengah agar tetap menjadi rujukan bersama kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila yang moderat tidak bisa ditafsirkan dan diimplementasikan dengan pandangan-pandangan “radikal-ekstrim”, karena akan bertentangan dengan hakikat Pancasila itu sendiri.



Pikiran-pikiran nasionalisme yang radikal-ekstrim seperti ultranasionalisme dan chauvinisme, juga keagamaan yang radikal-ekstrim semacam cita-cita negara agama atau teokrasi dan fundamentalisme agama, termasuk multikulturalisme radikal-ekstrim (pluralisme dan liberal-sekuler) serta semua ideologi radikal-ekstrim lainnya seperti komunisme juga liberalisme-sekularisme tidaklah sejalan dengan Pancasila yang berwatak-dasar moderat.



Dalam konteks ini kemudian, Pancasila mestinya dapat terus memoderasi berbagai paham yang ada untuk kemudian beringsut ke tengah. Fenomena yang saya istilahkan dengan moderating effect of Pancasila atau efek moderasi dari Pancasila.



Proses atau efek moderasi Pancasila ini sebenarnya beberapa dekade lalu sudah berjalan baik, tapi belakangan terlihat longgar. Antara lain karena perubahan kebijakan politik Nasional, serta dampak globalisasi dan majunya teknologi informasi.



*Pancasila Untuk*


Dalam konteks ini, kalau membaca butir-butir Pancasila, tentu akan terlihat bahwa sesungguh Pancasila adalah Guidance untuk menuju pada satu titik utama atau satu gerbang yang termaktub pada Sila ke-5: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.


Inilah yang sesungguhnya membutuhkan Kesaktian Pancasila. Sebab pada faktanya implementasi nilai-nilai Pancasila, terutama Sila ke-5 tersebut, masih terasa jauh dari harapan. Setidaknya itu dapat dilihat dari ketimpangan atau disparitas yang tersaji di depan mata, terutama antara kawasan barat dan timur Indonesia.



Memang ketimpangan tidak saja terkait atau hanya di wilayah timur tanah air, sejumlah daerah di kawasan barat juga terlihat kondisinya masih jauh dari harapan. Tapi secara vulgar, realitas disparitas itu akan terlihat jelas antara kawasan timur dan barat.


Data Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional atau Bappenas RI tahun 2019, yang menyebutkan ketimpangan antar wilayah di Indonesia masih sangat tinggi. Kemiskinan di kawasan timur Indonesia sebesar 18,01 persen, sedangkan kawasan barat Indonesia 10,33 persen.




Situasi yang timpang ini juga dapat disaksikan dalam urusan pembangunan di bidang pendidikan. Webometrics, salah satu lembaga yang selalu melakukan pemeringkatan universitas- universitas terbaik di dunia, baru-baru ini mengeluarkan hasil pemeringkatan terbarunya, yakni edisi Juli 2020, memperlihatkan 10 universitas terbaik di Indonesia ada di pulau Jawa dan Sumatera.



Begitu pula dalam berbagai data statistik. Hampir semua indeks ketertinggalan, ketimpangan dan ketidakadilan secara nasional berada di kawasan timur Indonesia. Misalnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Dari data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) 2018, menempatkan Provinsi Maluku pada urutan ke 27, diikuti dengan Maluku Utara di urutan 28, NTT di urutan ke 33, Papua Barat dan Papua di urutan 34 sebagai provinsi dengan IPM terendah secara nasional.



Begitu pula dengan Indeks Kemiskinan, BPS melaporkan, angka kemiskinan di Indonesia sebesar 9,41 persen dari total jumlah penduduk per Maret 2019, atau mencapai 25,14 juta jiwa. Ternyata sebaran utama kemiskinan itu ada di empat provinsi yang berada di kawasan timur Indonesia. Yakni Papua (27,53%), Papua Barat (22,17%), NTT (21,09%), Maluku (17,69%).  



Sama halnya dengan Indeks Provinsi dengan Angka Rata-Rata Lama Sekolah Paling Rendah. Lagi-lagi sejumlah daerah dari kawasan timur Indonesia turut menempati posisi terburuk. Papua Barat di posisi 27, NTT di posisi 31, dan Provinsi Papua di posisi 34. 



Juga dengan Indeks Pengangguran Terbuka yang dikeluarkan BPS tahun 2018. Lagi-lagi sejumlah daerah dari kawasan timur Indonesia masuk dalam sepuluh besar, Provinsi Maluku bahkan ada di urutan ke-3 populasi pengangguran terbanyak secara nasional. 



Sama pula dengan Indeks Tata Kelola Pemerintahan yang dikeluarkan Partnership tahun 2014, tercatat semua provinsi di kawasan timur Indonesia, NTT, Maluku dan Maluku Utara, Papua dan Papua Barat ada di urutan paling bawah. Berada di zona merah atau sebagai daerah-daerah yang buruk tata kelola pemerintahannya 




Realitas atau kenyataan di atas memperlihatkan bahwa selama ini ada yang salah dalam skema dan orientasi pembangunan nasional. Distribusi keadilan belum mengejawantahkan amanat konstitusi, terutama Pancasila, Sila ke-5: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.



Realitas ketidakadilan juga semakin diperburuk dengan fenomena oligarki yang makin mengemuka dan menggurita. Seperti yang diungkap dalam satu makalah berjudul Reflections on Oligarchy, Democracy, and The Rule of Law in Indonesia, Jeffrey A. Winters, Ph.D.


Winters dalam bukunya itu menjelaskan Indeks Kekuatan Material (Material Power Index) MPI di Indonesia. Indeks ini untuk mengukur seberapa besar kekuatan material oligarki dibandingkan dengan orang biasa, dengan menghitung atau membagi kekayaan rata-rata dari 40 orang terkaya Indonesia berdasarkan posisi kekayaan warga negara rata-rata. 



Hasilnya menunjukkan bahwa kesenjangan kekayaan-kekuatan yang sudah besar di Indonesia pada tahun 2010 telah tumbuh dengan pesat selama dekade terakhir. Rata-rata oligarki teratas di Indonesia memiliki sekitar 570.988 kali lipat kekuatan kekayaan warga negara rata-rata pada tahun 2010. 



Kondisi Ini meningkat menjadi 759.420 kali pada tahun 2020, yakni peningkatan sebanyak 33 persen. Ini berarti konsentrasi kekayaan di kalangan oligarki meningkat lebih cepat daripada pertumbuhan secara keseluruhan dalam perekonomian.



Sebenarnya, jauh sebelum MPI di-rilis, berdasarkan survei lembaga keuangan Credit Suisse 2017, memperlihatkan bahwa 1 persen orang terkaya di Indonesia menguasai 49,3 persen kekayaan nasional. Kondisi ini membuat Indonesia berada di peringkat 4 negara dengan ketimpangan tertinggi di dunia



Semua ini saya kira adalah realitas yang kembali membutuhkan Kesaktian Pancasila. Artinya nilai-nilai pancasila penting untuk mewujudnyatakan secara murni dan konsekuen. Jika tidak, ketidakadilan hanya akan melahirkan dan memperkuat political discontent atau kekecewaan politik yang tentu saja dapat berujung pada berbagai gerakan disintegrasi bangsa. 


Catatan ini disampaikan dalam Dialog Kebangsaan, Hari Kesaktian Pancasila, 1 Oktober 2021, yang diprakarsai oleh Pemerintah Kota Ambon di Pullman Hotel Jakarta. (red)



Editor: RB. Syafrudin Budiman SIP / Mulasa Musa Sinabariba

Tidak ada komentar:

ads 728x90 B
Diberdayakan oleh Blogger.